Rabu, 30 Desember 2015


--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Untuk Melodi
deretan kata ciptakan harmoni
lagu untukmu
Melodi
bernyanyi terus bernyanyi
melodiku abadi disini
jangan menangis, terbanglah
kau bahagia bersama-Nya
hingga saatnya tiba
kan terus bernyanyi
Melodi tetaplah melodi

        Meski raganya telah lama pergi, namun aku tak bisa sepenuhnya berpaling. Senyum yang selalu menjadi kekuatanku masih jelas terpatri dalam benak ini. Bagiku dia akan tetap hidup disini, dihati ini.
“Udah siap?” tanya sepupuku Raka. Aku mengangguk memberi jawaban dan mengikutinya. Hari ini tahun kedua setelah kematian Melodi. Setiap tahun aku dan keluarga biasa mengunjungi makamnya untuk berdoa.
        Suasana di makam masih sama seperti saat pertama aku datang untuk mengantar Melodi ke peristirahatannya yang terakhir. Masih terlukis jelas bagaimana orang-orang itu menurunkan jenazahnya yang kaku kedalam liang, dan menaburi bunga diatasnya. Aku bahkan bisa melihat diriku yang kala itu tak kuasa menahan rasa yang terlampau sakit. Dan tak mampu berpikir jernih karenanya. Kesedihan yang teramat dalam menggelayut bagai bayangan hitam di ujung senja. Aku harus merelakan Melodiku kembali kepada penciptanya.
                                                                              ***

        Melodi sangat menyukai musik, ia pandai memetik gitar dan bermain piano. Katanya musik adalah bagian yang tak bisa lepas dari jiwa manusia. Baginya dunia tanpa musik bukanlah dunia, melainkan hanya sebuah ruang hampa. Akupun tak pernah bisa lepas dari musik. Karena kisahku juga berawal dari musik.

        Empat tahun lalu, aku mendapat kehormatan untuk menyambut tamu penting dari luar negeri yang berkunjung ke kotaku. Karenanya aku diminta menjadi salah satu pengisi acara welcoming party tersebut. Tidak hanya murid-murid dari sekolahku saja ternyata, banyak siswa berbakat dibidang seni lainnya yang ikut menyemarakkan acara. Dua minggu sebelum hari H, aku dan yang lainnya berlatih di studio musik yang disediakan panitia. Aku datang membawa gitar kesayanganku. Nampaknya, belum ada yang datang. Karena masih harus menunggu yang lainnya, kuputuskan untuk melihat-lihat studio tersebut. Studio itu nampak asri dengan cat hijau yang menyelimutinya.
        Denting merdu piano menggali rasa ingin tahuku. Dia tidak hanya bermain piano, namun juga bernyanyi. Mungkin dia sedang berlatih untuk acara dua minggu kedepan. Suaranya yang lembut dan berkarakter sangat selaras dengan denting merdu piano yang ia mainkan. Lagu If I Ain’t Got You milik Alecia Keys membuai telinga dan hatiku. Siapa pemilik suara merdu itu?
        Kulihat seorang gadis duduk di bangku piano, tangannya sangat lihai dengan tuts-tuts hitam putih itu. Ku hampiri musisi misterius itu dengan hati-hati. Aku takut mengganggu konsentrasinya dalam bermusik. Kagum, kuperhatikan gadis itu dengan seksama. Sesaat setelah dia menyelesaikan lagunya. Aku bertepuk tangan dan memujinya. Dia cukup terkejut dengan kehadiranku, namun dia tersenyum dan berterima kasih. Cantik. Suaranya benar-benar sesuai dengan wajahnya. Kekaguman itu semakin menjalari hatiku. Akupun berkenalan dengannya. Melodi benar-benar nama yang sangat cocok untuk dirinya.

        Setelah perkenalanku dengannya waktu itu, hubungan kami menjadi lebih dekat. Aku semakin sering bertemu dengannya. Kita sering menghabiskan waktu berdua untuk bermain musik dan pergi jalan-jalan. Bakat musiknya sungguh mengagumkan. Dan pertemuan-pertemuanku dengannya membuatku merasa kagum yang berbeda. Rasa itu membuatku selalu ingin bertemu dengannya. Lambat laun aku sadar bahwa aku mencintainya.

        “Hari ini kita mau kemana?” tanyanya suatu sore. “Kemana ya? Oh iya, kamu mau nggak nemenin aku buat nyari kado buat kakakku. Lusa dia ulang tahun. Aku males pergi sendiri,” kataku. Aku sempat merasa dia sedang menimbang-nimbang keputusan. “Oke, mau pergi jam berapa?” tanyanya. “4 aja, nanti aku jemput kamu di rumah,” kuputuskan untuk pergi pukul 4 sore nanti. Rasanya tak sabar untuk melihat wajahnya lagi.
        Tepat pukul 4 aku tiba dirumahnya, dia mengenakan stelan dengan bolero dan celana jeans panjang. Dia tersenyum riang menghampiriku layaknya anak anjing yang menerima tulang dari induknya. Setelah berpamitan, kamipun bergegas pergi.
        Aku begitu bangga setiap kali berjalan disampingnya. Raut wajahnya yang cantik dan ceria membuatnya menjadi perhatian orang-orang sekitar. Aku pun tak henti-hentinya merasa kagum dan sering mengamatinya diam-diam. Kami berjalan berkeliling, dan memutuskan untuk singgah ditoko baju di mal tersebut. Dia membantuku memilih baju untuk kakakku. Kebetulan ukuran badannya hampir sama dengan  Melodi. Jadi dia kujadikan sebagai modelnya. Dia mencoba semua baju yang  kurekomendasikan. Dia terlihat sangat cantik, aku sempat kehilangan kesadaran saat menatapnya. Aku sungguh merasa malu saat dia menegurku untuk tidak menatapnya lekat-lekat.
        Selesai membeli kado, kami bingung akan kemana. Lalu dia menyeretku memasuki sebuah photobox dekat dengan toko baju tadi. Kami berpose konyol saat difoto. Dan saling tertawa begitu melihat hasilnya. “Lihat deh Mel, muka kamu jelek banget,” cibirku padanya saat kami makan disebuah cafe masih di mal tersebut. Dia langsung menekuk muka dalam-dalam. Aku tergelak melihatnya. “Lihat ini, aku cakep ya?” kataku memuji diri sendiri. “Ah, itu sih karena mesin fotonya aja yang kualitas gambarnya bagus. Kalo aslinya kamu sih,” dia menggunakan kedua tangannya yang ia bentuk menyerupai sebuah frame untuk mengukur wajahku. “oh ya ampun. Kok bisa ada Tom Cruis disini, tapi versi Tom and Jerry sih,” dia tergelak sendiri. “Enak aja!” kami mengabiskan waktu dengan  membahas  pose-pose kami difoto. Dia memberiku 3 foto, dan dia simpan 3 foto lainnya. Pukul 8 aku mengantarnya pulang.
                                                                               ***

        Dua hari kemudian kuputuskan untuk menyatakkan perasaanku padanya. Aku menyanyikan sebuah lagu milik Cody Simpson-Angel dengan gitarku. Awalnya dia sempat terkejut, namun dia terlihat gembira. Dan beberapa menit setelahnya, aku dan Melodi resmi berpacaran. Kurang lebih 2 tahun lamanya hubungan itu terjailn. Meski sempat putus-sambung beberapa kali, toh akhirnya hati itu kembali bertaut.
        Aku selalu berharap bisa terus bersamanya selamanya. Namun perasaan takut kehilangan muncul saat dia berkata padaku “Damar, nanti kalo aku pergi. Kamu baik-baik ya disini. Jangan kebanyakan main. Kasian mama kamu sendirian di rumah,” katanya waktu itu. “Emang kamu mau pergi kemana? Kamu kok tega sih ninggalin aku sendiri disini,” protesku padanya. “Aku juga nggak mau Dam, tapi suatu saat nanti kita bakal ketemu kok disana,” dia tersenyum begitu manis. “Oke kamu tenang aja, aku bakal sering-sering jengukin kamu disana. Tapi seberapa jauh kotanya? Luar negeri? Kalo luar negeri aku nggak mungkin bisa sering sering jengukin kamu. Bisa tekor nanti,” aku mengucapkannya dengan candaan. Tapi dia tidak tersenyum kali ini. Aneh. “Dam, kamu cari cewek lain aja ya. Aku nggak mau  bikin kamu sedih seandainya aku pergi nanti,” ucapannya sudah sangat ngelantur. Tidak biasanya Melodi seperti ini. Ada apa? “Jangan ngaco deh, kamu kenapa sih? Ada masalah? Cerita aja,” dia terdiam. “Nggak kok, nggak papa. Pulang yuk udah sore nih. Aku kangen rumah,” kamipun pulang dengan hatiku yang masih khawatir pada Melodi.
        Sore itu jalan cukup ramai, aku mengendarai motor dengan Melodi membonceng dibelakang. Sepanjang jalan perasaanku benar-benar buruk. Aku takut sesuatu akan atau telah terjadi pada Melodi yang membuatnya pergi dariku. Kekhawatiran itu membuatku tidak konsen dalam berkendara. Aku tidak melihat truk besar didepanku. Aku mencoba menghindari truk tersebut. Namun naas, saat aku sudah berhasil menghindari truk, didepanku melaju sebuah mobil Suzuki SX4  dengan kecepatan tinggi, dan menabrak motorku, menyeretnya sejauh 7 meter. Aku  terpental sejauh 3 meter. Melodi, aku mencari-cari keberadaannya.  Aku menemukannya bersama motorku, kakinya terjepit mobil. Aku mencoba berdiri, namun gagal. Kulihat orang-orang berlarian, lalu semuanya gelap.

        Aku tersadar ketika aku sudah terbaring di rumah sakit. Lukaku tidak terlalu parah. Yang kupikirkan pertama kali adalah Melodi. Apa dia baik-baik saja? Aku mencoba bangun dan mencari Melodi. Selang infus kutinggalkan begitu saja. Kamar Melodi berjarak beberapa kamar dari kamarku. Melihat kondisinya saat ini, membuatku takut. Aku takut dia benar-benar pergi ketempat yang tak bisa kuikuti. Kata mamanya yang kebetulan disana, Mel sempat kritis tadi malam. Namun sekarang masa kritisnya lewat sudah. Aku cukup lega mendengarnya.
        Satu jam kiranya aku hanya duduk menatap wajahnya. Aku takut tidak bisa melihat wajah itu lagi. Tak lama Melodi membuka matanya dan tersenyum. Aku lantas memanggil mama Melodi dan dokter. Rasa takut itu sirna saat melihatnya bangun kembali. Dengan terbata-bata, Melodi memintaku bernyanyi untuknya. Aku mengambil gitar disudut ruangan yang dibawa Adit, kakak laki-laki Melodi. Ku petik gitar itu dan mulai bernyanyi. Lagu yang kuciptakan untuk Melodi.

Kau yang pertama mencuri hati dengan lagu
Merdu merasuk kalbu
Kau yang pertama memberi cinta
Indah bagai surga

Denting piano kerap membuatku teringat
Betapa lihai jari kecilmu menari disana
Alunan musik selaraskan jiwa
Hilang nestapa, bahagia

Ingin ku genggam tanganmu
Menari mengikuti musikku
Bernanyi lalala damdamdam
Lantunkan lalala rapampam

Kau yang pertama mencuri hati dengan lagu
Merdu merasuk kalbu
Kau yang pertama memberi cinta
Indah bagai surga
Wajah itu yang selalu hadir
Senyum itu  membuatku berdesir
Kau yang pertama dan terakhir

        Dia menangis dihadapanku, tersenyum dan bertepuk tangan. “Itu lagu buat aku?” aku mengangguk memberi jawaban. “Makasih,” aku menyeka air matanya. Kini aku benar-benar yakin, omongannya kemarin hanya lelucon konyolnya saja. “Aku mau tidur, kamu disini aja ya. Jangan pergi,” katanya. “Aku bakal selalu nemenin kamu. Kamu tidur yang nyenyak,” diapun terlelap tak lama kemudian. Beberapa menit kemudian suster masuk untuk mengecek dan memberi obat. Aku melihat raut wajahnya yang khawatir. Dia pergi memanggil dokter. Ada apa? Apa ada sesuatu yang terjadi pada Melodi?
        Tak lama dokter memasuki ruangan dan memeriksa. Dia bertanya padaku berapa lama Melodi terlelap. Aku menjawab sesuai kenyataaan, “Dia terlelap setelah mendengarkan laguku,” dan jawaban dokter sungguh membuatku sesak napas. “Mungkin dia ingin mendengar lagumu terakhir kali sebelum dia pergi. Kau bersabarlah,” ya Melodi menghembuskan napas terakhirnya setelah mendengar laguku. Kini dia benar-benar pergi. Aku tak mampu menahan sakit yang teramat dalam. Aku tak pernah berpikir bahwa lagu itu adalah lagu pertama dan terakhir untuk Melodi. Satu yang aku syukuri, Tuhan memberiku kesempatan untuk mencintai seseorang seperti Melodi. Meski raganya tak lagi disini, melodinya tetap abadi dihati